Jumat, 05 Agustus 2011

Rakyat & Pendidikan Politik


 RAKYAT & PENDIDIKAN POLITIK
Oleh : Edi Kusmayadi, M.Si
Dosen Fisip Unsil

A.       Kesadaran dan partisipasi politik
Di negara-negara yang sudah menganut paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar idiologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijakan umum. Di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai tujuan itu, parpol merupakan alat yang baik.
Pada permulaan perkembangannya di negara-negara Barat seperti Inggris dan Perancis, kegiatan politik pada mulanya dipusatkan di dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitis dan aristokrasi, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan raja. Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang dukungan dari pelbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik dalam parlemen lambat laun berusaha memperkembangkan organisasi massa, dan dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-kelompok politik dalam parlemen dengan panitia pemilihan yang sepaham dan sekepentingan.
Partisipasi politik masyarakat ditentukan oleh seberapa besar kesadaran setiap warga Negara dalam proses politik dan seberapa besar kepercayaan warga Negara terhadap pemerintah. Intinya pendidikan politik harus mengarah pada peningkatan kesadaran rakyat yaitu mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga Negara yang turut serta menentukan kearahmana tujuan Negara akan dicapai.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat  untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Namun demikian kekuasaan yang dimiliki ketiga lembaga Negara dimaksud terbatas sesuai dengan hokum dasar yang tertulis tidak atas dasar kekuasaan belaka.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).

B. Perubahan politik
C. 
Perjalanan politik di Indonesia pasca kemerdekaan terus mengalami perubahan sistem partai politik dan sistem pemilihan umum (pemilu). Perubahan tersebut, tidak lain hanya untuk menciptakan sistem yang bisa menjadi sarana dan komunikasi politik yang efektif menuju tatanan negara demokratis, berbangsa dan bernegara. Memasuki era reformasi, sistem politik dan pemilu multi partai (banyak partai) ini terus mengalami perubahan yang signifikan. Sistem politik diarahkan untuk mencari sosok wakil rakyat atau pemimpin yang serius, serta sungguh-sungguh mendengar dan menampung aspirasi rakyatnya, agar mereka lebih sejahtera, adil dan makmur baik secara politik maupun ekonomi.
Kendati demikian, sistem politik dan pemilu era reformasi ini dianggap masih sangat lemah, bahkan ‘demokrasi’ yang diberikan kepada rakyat dianggap telah kebablasan. Kemudian dengan multi partai ini beberapa partai besar tidak cukup kuat untuk membentuk pemerintahan yang stabil, karena mereka dengan terpaksa harus membentuk koalisi dengan partai lain dengan azas dan program yang berbeda. Namun partai tersebut akan menghadapi kemungkinan perubahan dukungan, yang sewaktu-waktu akan menarik dukungan jika tujuan koalisi tidak tercapai. Pasal 9 UU N0. 42 2009 menyebutkan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)  dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Perubahan politik di era reformasi, tidak terlepas dari pengaruh eksternal. Pergantian perpolitikan di Indonesia memunculkan berbagai sikap dan perilaku serta pandangan dari berbagai lapisan masyarakat. Fenomena tersebut memberi isyarat tentang kesadaran dan aspirasi masyarakat termasuk kontrol sosial terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Salah satu yang mencuat kepermukaan adalah keinginan berbagai strata masyarakat tadi, untuk ikut berperan serta dalam pengelolaan Negara, melalui pembentukan partai politik, dampaknya adalah pluralisme dalam kehidupan perpolitikan yang melahirkan sistem multi partai. Indikator yang paling menonjol ialah lahirnya multipartai Islam dengan azas partai yang berbeda-beda dan beragamnya flatform partai politik. Pendirian partai politik baru menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat luas; Pertama, masyarakat khususnya ummat Islam curiga terhadap beberapa partai Islam yang secara tegas meletakan Islam sebagai dasar. Karena partai Islam dianggap sebagai partai yang hanya memperjuangkan kepentingan-kepentingan agama tertentu dan masalah yang sangat sempit. Sebagian masyarakat merasa khawatir jika partai Islam pada suatu waktu akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Kedua,masyarakat merasa kebingungan dengan gejolak yang menimbulkan paradox orientasi partai-partai politik, karena partai politik lahir dengan alasan kecenderungan politik alokatif rasional. Namun disisi lain, politik aliran atau keagamaan muncul kembali lengkap dengan symbol-simbol keagamaan. Sehingga masyarakat khawatir keterlibatan agama dalam pentas politik hanya akan menodai agama itu sendiri dan mencampuradukan dua hal yang berbeda yang mestinya dipisahkan dan dibedakan.
Disisi lain isu agama masih sangat mungkin dan berpeluang besar untuk menarik minat calon pendukung yang sekaligus dapat dijadikan kader partai dan asset sebagai calon pemilih setia, demikian pula dengan penggunaan symbol-simbol, semboyan dan formula politik lainnya tentang agama.
Penggunaan atribut seperti bendera partai seringkali dikaitkan dengan faham-faham keagamaan tertentu, kampanye, slogan sering menggunakan kalimat-kalimat agama, ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadist sering digunakan sebagai argumen teologis –politik serta pakaian keagamaan digunakan sebagai lambang kesalihan figure tokoh partai politik. Jika konsisten terhadap ajaran agama, semestinya tidak diperlukan lagi. Demikian pula partai politik yang disebut terbuka seharusnya mengambil jarak yang tegas  untuk tidak menggunakan simbol-simbol keagamaan atau isu-isu keagamaan.
Jika kita akan membangun demokrasi di negri ini, kata kuncinya hanyalah kembali ke konstitusi kita dengan nilai-nilai filosofis bangsa yang terkristalisasi dalam pandangan/ideology/dasar Negara yaitu Pancasila. Persoalan yang menyangkut perbedaan sudut pandang/interpretasi dari demokrasi adalah merupakan dinamika pemikiran masyarakat.     Dalam kehidupan berdemokrasi janganlah memberikan statemen  “ mari kita samakan persepsinya “. Belajar berdemokrasi adalah dasar untuk membangun kognitif, afektif dan psikomotorik rakyat dalam kehidupan berpolitik. Oleh karenanya peran serta parpol/ormas/pemerintah/LSM/lembaga pendidikan memegang peran penting dalam pendidikan politik rakyat. Bukan saatnya lagi rakyat dibodohi dengan sejuta janji dan pemberian nilai-nilai materi yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sesaat.

2 komentar:

  1. Saya suka produk Amerika dan belanja di eBay. Saya menemukan sebuah layanan forwarding mail dari Amerika Serikat. Hal ini disebut myusaparcel.com dan email mereka biaya forwarding sangat murah dan agen mereka benar-benar membantu. Saya telah melakukan bisnis dua kali dan senang dengan itu. Saya memesan layanan di myusaparcel.com, tetapi Anda dapat email mereka di myusparcel@aol.com.

    BalasHapus